@12: Mental Katastropik

Day 0.

Krik…Krik…Krik…

Setelah sedetik melihat pengumuman SBMPTN. Tidak ada teriakan. Tak ada kejutan. Hanya wajah mood saya dan ayah saya yang langsung berubah seketika itu juga.

Aku tetap diam langsung mengeksekusi rencana B: Cari info masuk mandiri.

Awalnya mungkin karena asumsi kalau masuk secara mandiri hanya beda cara masuknya, maka aku tenang saja.

Awal tujuan saya untuk menargetkan masuk mandiri di ITS, namun setelah melihat kondisi, okelah yah.. UNDIP.

Kami langsung meluncur ke website online pendaftaran UNDIP.

Melihat sekilas, cara pendaftaran mandiri yang tertera di website.
Melihat aspek lain seperti jurusan, tempat, dll. ….. hingga terhenti di laporan biaya.

What happened? padahal hampir dekat masuk registrasi mandiri websitenya.

Ayah menyuruh saya untuk berhenti dulu dan cari universitas lain.

Kau tahu apa gerangan yang membuat kami pindah perhatian seketika itu juga?

BIAYA MASUKNYA TERMASUK UKT YANG EMANG S**** D**** F*** S*** MAHAL!

Bedanya orang yang masuk nasional vs. mandiri memang jauh sekali.

Kami mencari universitas lain, bahkan juga ngelirik univ. swasta

Amikom, Telkom, ITS (Pens), UB, Unnes, UNS..

UIN malang punya prodi target saya, dan 100% kakak kelas se-banding skill juga langganan sisanya.

Terlihat OK, namun ahh…. uang gedungnya belum jelas. Cari laen lagi dulu.

Meneruskan ke klimak setelah buka puasa dan aku punya usul untuk kuliah saja di sekitar kota saya.

Aku pikir karena tentu biayanya lebih murah dan incaran #1 sebab kita kuliah : gelar S1.

Tentu saja, naluri orang tua: Lha terus kamu nanti keluar jadi apa?

Argumen demi argumen sampai ayahku menjelaskan satu hal…

“Kalau kamu tetep disini, nanti kamu tidak punya link. Gak bakal bisa berkembang”

Skak mat. Aku tak berani beralasan lagi.


Meanwhile, di akhir hari aku buka what’sapp HP saya. Sobat karip saya tanya gimana hasilnya.

Saya jawab jujur aja. “Masak sih?”. Aku kirim tuh gambar screenshot biar jelas.

Sempat hot di grup teman sekelas. Beberapa teman saya lolos SBMPTN.

Hmh. Sayangnya pesta sudah selesai 🙂


Day 1.

Ayahku terus mencari solusi sambil mempertimbangkan biaya karena uang masih sangat dibutuhkan.

2 adikku lulus dan masuk sekolah baru. Lebaran sudah dekat. Ayah mau meneruskan S3. Simpanan baru habis buat bayar lunas hutang keluarga.

Karena ramadhan hari ini bukan musim libur, ayahku ada jam untuk kampus (ayahku kerja di kampus dekat beberapa blok).

Tak ada argumen di pagi hari. Semua berjalan seperti biasa.

Dan seperti liburan panjang biasanya, aku mengerjakan projek… seperti biasanya.

Rumah terasa sepi dan aku masih berpikir tentang pendapatku sejak kemarin malam.

Aku bahkan berpikir, bagaimana kalau aku tidak kuliah saja? Selama setahun.
Setahun? 365 hari liburan?

Ide bagus. Aku mau tulis apa saja yang kuinginkan selama libur 365 hari.

Aku tulis apa yang mengganjal saya selama enjoy dalam liburan panjang belakangan ini.

Kau tahu point pertama yang kuinginkan?

IMG-20170614-WA0046
Mainin dua laptop sekaligus. Satunya (yang kiri) itu milik ayah tapi gak pernah dipakai.

SH*T brilliant! 2 laptop di meja yang sama. Satu untuk browsing. Satu untuk projek.

Karena pekerjaan laptop dibagi 2, alhasil laptop saya anti-lemot. Aku sekarang super-produktif. Tak perlu buka-tutup software lagi.

Ah, mengapa tak terpikirkan sebelumnya? Akhirnya aku tahu mengapa semua programmer punya lebih dari satu laptop di mejanya.

Love it! Bakal betah dirumah terus! Aku mungkin akan menambah lagi point-point seperti itu lain waktu.


Meanwhile, sepulang kampus saat berbuka ayah masih mencari-cari info. Katanya positif untuk ke UIN malang karena UKT tergolong OK dan “tidak mencantumkan uang gedung” di website.

UIN Malang? Kampus yang dulunya aku ada kesempatan untuk langsung daftar namun kita abaikan karena “tempat buangan”?

Entah mengapa, hal itu membuatku tidak khusuk saat shalat tarawih.

Aku masih mencari jawaban antara “UIN malang” vs “Libur setahun” sepanjang jalan.

Dua-duanya punya positif + negatif. Dan aku tidak punya pilihan kalau orang tua sudah final.

Mentalku down.. lebih bawah. Seperti dunia melawan diriku, namun tak mampu berbuat apa-apa (karena masih tarawih).

Sepulang tarawih, dan ayahku masih mencoba mencari lain yang lebih murah. Mata ayahku tertuju pada Trunojoyo Madura.

Bahkan UKT trunojoyo lebih kecil dari UIN malang, namun sekali lagi, trunojoyo punya uang gedung.. 15 Juta. Ini buat kami heran.

OK. “tidak mencantumkan uang gedung” bukan berarti “tidak menarik uang gedung”, sehingga ujung-ujungnya UIN malang mungkin juga semahal seperti lainnya.

Jadi… Tetep kuliah? Aku masih membelakan konsep libur setahun.


Disini cerita antiklimaks dimulai. Ibu saya menjelaskan ide yang sama denganku, untuk berhenti saja setahun ini.

Awalnya ayahku tetap pikir-pikir karena menyianyiakan satu tahun itu gak sebanding dengan hanya untuk cari celah masuk kampus.

Namun berdasarkan argumen ekonomi diatas, plus: SMP saya cuma 2 tahun (program khusus); projek gak pernah kosong (programmer +7 tahun); bisa otodidak; punya celah income sendiri; masih perlu belajar spiritual+cara merantau (gak pernah naik bis solo); kesempatan masih ada tahun depan; bisa incar internasional lagi;… dsb.. dsb.. Kedua orang tuaku akhirnya sepakat juga.


Aku tak tahu kalau keputusan ini mungkin berubah atau tidak, tapi justru aku sangat bersyukur.

Akhirnya, aku punya kontrol full diriku sendiri selama setahun.

Aku punya waktu sangat cukup untuk belajar skill program di area baru.

Aku punya waktu benahi fisik+sosial+mental+spritual buat bekal kuliah nanti.

Aku tahu ada sisi-negatifnya: aku mungkin terus sendirian selama setahun.

Namun skillku tetap bisa memotivasi dan mensibukkan diri sendiri. Aku selalu menerima email paling tidak satu dalam sehari.

Mari kita apa saja yang kulakukan dalam 365 hari ini.

“365 hari hidup tanpa kampus” mungkin bisa jadi ide buku briliant saya selanjutnya.

3 respons untuk ‘@12: Mental Katastropik

Add yours

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑